Budi Oetomo, merupakan wadah perjuangan
yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di
Jakarta, 20
Mei 1908 oleh
pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan
refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme
Jawa yang ditampilkannya.
Pada kongres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober
1908 menetapkan tujuan perkumpulan : ‘Kemajuan yang selaras buat
negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan
dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan’.
Dalam 5 tahun permulaan Budi Oetomo
sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat
dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan
monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah
mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, para mahasiswa Indonesia
yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu
sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdammendirikan Indische Vereeninging yang kemudian
berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan
perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi
politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas
nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru
menjadi Perhimpunan
Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan
organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan
propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran
nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische
Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah
haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu
perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena
banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju
"kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya
untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita
dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun
ke lapangan politik. Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada
masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah
angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor
terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan
misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan
dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong
semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan,
untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
Kebangkitan Semangat Kebangsaan
Pelajar-Pelajar Indonesia
Kelahiran Sumpah Pemuda (1928)
Pada pertengahan 1923, serombongan
mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah
menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan
kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di
hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena
keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische
Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok
Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh
para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang
dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11
Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok
Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI),
prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang
bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi
wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa
Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun
1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar,
mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru
pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang
berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
Gerakan Mahasiswa Di Era Proklamasi
(1945)
Peristiwa Rengasdengklok
Dalam perkembangan berikutnya, dari
dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok
studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul
kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh
basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia(PBI), sedangkan
Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun
kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif
dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan
terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti
dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai
politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang
mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum
tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan
kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama
di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam
melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan
Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal
generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang
bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin
oleh Chairul
Saleh dan Soekarni saat itu, yang
terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya
memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa
Rengasdengklok.
Gerakan Mahasiswa Pasca Kemerdekaan dan
Meruntuhkan Rezin Orde Lama (1945-1966)
Pada masa setelah kemerdekaan, mulai
bermunculan secara bersamaan organisasi - organisasi mahasiswa di berbagai
kampus. Berawal dari munculnya organisasi mahasiswa yang dibentuk oleh beberapa
mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta, yang dimotori oleh
Lafran Pane dengan mendirikan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada
tanggal 14 rabiul awal 1366 H yang nertepatan pada 05 Februari 1947.
Organisasi ini dibentuk sebagai wadah
pergerakan mahasiswa yang dilatarbelakangi oleh 4 faktor utama yang meliputi
Situasi Dunia Internasional, Situasi NKRI, Kondisi Mikrobiologis Ummat Islam di
Indonesia, Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan. Selain itu pada
tahun yang sama, dibentuk pulalah Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia
(PPMI) yang didirikan melalui kongres mahasiswa di Malang.
Lalu pada waktu yang berikutnya
didirikan juga organisasi - organisasi mahasiswa yang lain seperti Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berhaluan pada ideologi Marhaenisme
Soekarno, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GAMSOS) yang lebih cenderung ke
ideologi Sosialisme Marxist, dan Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI)
yang lebih berpandangan komunisme sehingga cenderung lebih dekat dengan PKI
(Partai Komunis Indonesia).
Sebagai imbas daripada kemenangan PKI
pada pemilu tahun 1955, organisasi CGMI cenderung lebih menonjol dibandingkan
dengan organisasi - organisasi mahasiswa lainnya. Namun justru hal inilah yang
menjadi cikal bakal perpecahan pergerakan mahasiswa pada saat itu yang
disebabkan karena adanya kecenderungan CGMI terhadap PKI yang tentu saja
dipenuhi oleh kepentingan - kepentingan politik PKI. Secara frontal CGMI
menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi - organisasi mahasiswa
lainnya terutama dengan organisasi HMI yang lebih berazazkan Islam.
Berbagai bentuk propaganda politik
pencitraan negatif terus dibombardir oleh CGMI dan PKI kepada HMI, beberapa
bentuk propaganda yang mereka wujudkan yaitu salah satunya melalui artikel
surat kabar yang berjudul Quo Vadis HMI. Perseturuan antara CGMI dan HMI
semakin memanas ketika CGMI berhasil merebut beberapa jabatan di organisasi
PPMI dan juga GMNI, terlebih setelah diadakannya kongres mahasiswa V tahun
1961.
Atas beberapa serangan yang terus
menerus dilakukan oleh pihak PKI dan CGMI terhadap beberapa organisasi
mahasiswa yang secara ideologi bertentangan dengan mereka, akhirnya beberapa
organisasi mahasiswa yang terdiri dari HMI, GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia), PMKRI, PMII, Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal
(SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI),
mereka sepakat untuk membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Dimana
tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan
perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI yang dimotori oleh wakil
PB HMI Ma’arie Moehammad dan diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan
Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI),
Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Berawal dari
semangat kolektifitas mahasiswa secara nasional inilah perjuangan mahasiswa
yang dikenal sebagai gerakan angkatan '66 inilah yang kemudian mulai melakukan
penentangan terhadap PKI dan ideologi komunisnya yang mereka anggap sebagai
bahaya laten negara dan harus segera dibasmi dari bumi nusantara.
Namun sayangnya, di tengah semangat
idealisme mahasiswa pada saat itu ada saja godaan datang kepada mereka yang
pada akhirnya melunturkan idealisme perjuangan mereka, dimana setelah masa orde
lama berakhir, mereka yang dulunya berjuang untuk menruntuhkan PKI mendapatkan
hadiah oleh pemerintah yang sedang berkuasa dengan disediakan kursi MPR dan DPR
serta diangkat menjadi pejabat pemerintahan oleh penguasa orde
baru. Namun di tengah gelombang peruntuhan idealime mahasiswa
tersebut, ternyata ada sesosok mahasiswa yang sangat dikenal idealimenya hingga
saat ini dan sampai sekarang tetap menjadi panutan para aktivis - aktivis
mahasiswa di Indonesia, yaitu Soe Hok Gie. Ada seuntai kalimat
inspiratif yang dituturkan oleh Soe Hok Gie yang sampai sekarang menjadi
inspirasi perjuangan mahasiswa di Indonesia, secara lantang ia mengatakan
kepada kawan - kawan seperjuangannya yang telah berbelok idealimenya dengan
kalimat "lebih baik terasingkan daripada hidup dalam kemunafikan".
Gerakan Mahasiswa Di Rezim Orde Baru
(1966-1988)
Kritik Terhadap Kinerja Pemerintah Rezim Orde Baru
Realitas berbeda yang dihadapi antara
gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki
hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami
adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak,
bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah
melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde
Baru, seperti:
- Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama pada masa Orde
Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
- Gerakan menentang
pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang
tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka
disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah,
selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang
dimotori Arif
Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM,
dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang
lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan
membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini
dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus
yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task
Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan
demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu
1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa
politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi
kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk
perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang
pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap
ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan
partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai
bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan
Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori
oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution,Asmara Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah
melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan
untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam
pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974
Gerakan Mahasiswa Penolakan NKK/BKK
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun
1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa
disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan
rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies
Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun
disana-sini aksi protes kecil tetap ada. Menjelang dan terutama saat-saat
antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan
mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat
sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai
penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur
dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan
tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik
strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk
melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977
dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan
tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini
terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap
telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan
mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah
kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk
menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan
cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa
dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh
Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya
dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan
gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya
keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan
menolak kepemimpinan nasional.
Gerakan mahasiswa tahun
1977/1978 ini tidak hanya berporos di Jakarta dan Bandung saja namun meluas
secara nasional meliputi kampus-kampus di kota Surabaya, Medan, Bogor,
Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang. [1] 28 Oktober 1977,
delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu
suara, "Turunkan Suharto!". Besoknya, semua yang berteriak, raib
ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap
kembali tentram.
10 November 1977, di Surabaya dipenuhi
tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada Oktober
1977, giliran Kampus ITS Baliwerti
beraksi. Dengan semangat pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir
memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan
kaki dari Baliwerti menuju Tugu Pahlawan. Sejak
pertemuan 28 Oktober di Bandung, ITS didaulat menjadi pusat konsentrasi gerakan
di front timur. Hari pahlawan dianggap cocok membangkitkan nurani yang hilang.
Kemudian disepakati pusat pertemuan nasional pimpinan mahasiswa di Surabaya.
Sementara di kota-kota lain, peringatan
hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki lima
kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI),
membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami Mengadu". Juga dengan
pengawalan ketat tentara. Acara hari itu, berwarna sajak puisi serta hentak
orasi. Suasana haru-biru, mulai membuat gerah. Beberapa batalyon tempur sudah
ditempatkan mengitari kampus-kampus Surabaya. Sepanjang jalan ditutup,
mahasiswa tak boleh merapat pada rakyat. Aksi mereka dibungkam dengan cerdik.
Konsolidasi berlangsung terus. Tuntutan agar Soeharto turun masih menggema
jelas, menggegerkan semua pihak. Banyak korban akhirnya jatuh. Termasuk
media-media nasional yang ikut mengabarkan, dibubarkan paksa.
Pimpinan Dewan Mahasiswa (DM) ITS rutin
berkontribusi pada tiap pernyataan sikap secara nasional. Senat mahasiswa fakultas
tak henti mendorong dinamisasi ini. Mereka bergerak satu suara. Termasuk
mendukung Ikrar Mahasiswa 1977. Isinya hanya tiga poin namun berarti.
"Kembali pada Pancasila dan UUD 45, meminta pertanggungjawaban presiden,
dan bersumpah setia bersama rakyat menegakan kebenaran dan keadilan".
Peringatan 12 tahun Tritura, 10 Januari
1978, peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal sekaligus akhir. Penguasa
menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih
teror dan pengekangan.
Sejak awal 1978, 200 aktivis mahasiswa
ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat
interogasi. Banyak yang dipaksa mengaku pemberontak negara. Tentara pun tidak
sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng bersenjata.
Rumah rektornya secara misterius ditembaki orang tak dikenal.
Di UI, panser juga masuk kampus. Wajah
mereka garang, lembaga pendidikan sudah menjadi medan perang. Kemudian hari,
dua rektor kampus besar itu secara semena-mena dicopot dari jabatannya.
Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras kepala. Di ITS, delapan
fungsionaris DM masuk "daftar dicari" Detasemen Polisi Militer.
Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos mereka sudah ditunggui sekompi
tentara. Rektor ITS waktu itu, Prof Mahmud Zaki, ditekan langsung oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera membubarkan aksi dan men-drop out para
pelakunya. Sikap rektor seragam, sebisa mungkin ia melindungi anak-anaknya.
Beberapa berhasil tertangkap, sisanya bergerilya dari satu rumah ke rumah lain.
Dalam proses tersebut, mahasiswa tetap "bergerak". Selama masih ada
wajah yang aman dari daftar, mereka tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi.
Pergolakan kampus masih panas, walau Para Rektor berusaha menutupi, intelejen
masih bisa membaca jelas.
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis
tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat
diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa. Kebijakan NKK
dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed
Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba
mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan
dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi
rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini PangkopkamtibSoedomo melakukan pembekuan atas lembaga
Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian
baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan
ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di
Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui
Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan
penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif
sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya
mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa
Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang
terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan
pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai
wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga
kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan
yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan
transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU
No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak
diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah
atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang
apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana
birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul
kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan
refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser
oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa.
Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai
kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan
meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan
mahasiswa islam), PMII (Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia),PMKRI (Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok
Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain:
kasus tanah waduk Kedung
Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo,
penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
Kasus Helm “Siti Hardiyanti Rukmana” “1988”
Gerakan Mahasiswa Dalam Meruntuhkan Rezim Orde Baru (1990-1998)
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah
Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar
Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa
organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa
Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas
(SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan
dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang
menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat
menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang
menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda
untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa
dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak
timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini.
Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh
korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan
bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti
oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian
model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model
kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan
Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk
membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa
ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan
berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di
dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga
akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi.
Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke
DPR/DPRD tetap terlarang.
Peristiwa Amarah (1996)
Berawal dari kebijakan pemerintah dan
keluarnya SK MENHUB tentang kenaikan tarif angkutan umum yang
ditindak-lanjuti dengan SK walikota Makassar no: 900 tahun 1996 tentang
penyesuaian tarif angkutan kota di kota Makassar. Kebijakan itu sangat memberatkan
dan membuat semakin terpuruknya ekonomi masyarakat, maka dari inilah muncul
geliat-geliat mahasiswa Makassar dalam merespon kebijakan pemerintah yang
sangat tidak memihak masyarakat. Geliat-geliat ini akhirnya berakibat
digelarnya aksi demonstrasi besar-beasaran oleh mahasiswa Makassar.
Pada tahun ini makassar menangis,
pergerakan mahasiswa makassar dalam menolak kebijakan walikota makassar tentang
kenaikan tarif pete-pete (Angkutan Kota) dari Rp. 300,- menjadi Rp. 500,- yang
diakibatkan naiknya BBM, semua mahasiswa makassar melakukan aksi menolak
sehingga menyebabkan 3 mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Menjadi korban
(Saiful Biya, Tasrif, Andi Sultan Iskandar) karena kampus II UMI dimasuki
Tentara yang mengendarai Panser (Reformasi Berawali Dari Tanah Makassar).
Runtuhnya Rezim Orde Baru Menuju Era
Reformasi (21 Mei 1998)
Pada akhirnya ditahun
1997-1998 didorong oleh keadaan politik serta krisis ekonomi yang sedang
mengalami keterpurukan akibat krisis moneter yang dialami Indonesia membuat
perekonomian terguncang hebat. Hal ini tentu saja sangat mengejutkan
masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa yang akhirnya animo pergerakannya
mulai bangkit setelah sebelumnya mengalami mati suri yang cukup panjang.
Sehingga pada akhirnya timbullah berbagai aksi demonstrasi besar-besaran.
Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa pun akhirnya semakin
merebak dan meluas. Di Jakarta sendiri, ribuan mahasiswa telah berhasil
menduduki gedung MPR/DPR RI pada tanggal 19 Mei 1998. Atas berbagai tekanan
yang terjadi itulah akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00, presiden RI
pada saat itu, yaitu Soeharto resmi mengundurkan diri dan era Reformasi pun
dimulai dengan diawali oleh runtuhnya rezim Orde Baru.
Referensi :
http://kalajingga.wordpress.com/2011/04/20/kronologis-april-makassar-berdarah-1996-amarah/
Budi Oetomo, merupakan wadah perjuangan
yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di
Jakarta, 20
Mei 1908 oleh
pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan
refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme
Jawa yang ditampilkannya.
Pada kongres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober
1908 menetapkan tujuan perkumpulan : ‘Kemajuan yang selaras buat
negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan
dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan’.
Dalam 5 tahun permulaan Budi Oetomo
sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat
dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan
monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah
mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, para mahasiswa Indonesia
yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu
sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdammendirikan Indische Vereeninging yang kemudian
berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan
perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi
politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas
nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru
menjadi Perhimpunan
Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan
organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan
propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran
nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische
Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah
haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu
perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena
banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju
"kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya
untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita
dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun
ke lapangan politik. Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada
masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah
angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor
terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan
misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan
dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong
semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan,
untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
Kebangkitan Semangat Kebangsaan
Pelajar-Pelajar Indonesia
Kelahiran Sumpah Pemuda (1928)
Pada pertengahan 1923, serombongan
mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah
menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan
kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di
hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena
keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische
Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok
Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh
para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang
dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11
Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok
Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI),
prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang
bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi
wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa
Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun
1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar,
mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru
pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang
berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
Gerakan Mahasiswa Di Era Proklamasi
(1945)
Peristiwa Rengasdengklok
Dalam perkembangan berikutnya, dari
dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok
studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul
kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh
basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia(PBI), sedangkan
Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun
kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif
dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan
terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti
dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai
politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang
mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum
tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan
kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama
di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam
melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan
Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal
generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang
bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin
oleh Chairul
Saleh dan Soekarni saat itu, yang
terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya
memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa
Rengasdengklok.
Gerakan Mahasiswa Pasca Kemerdekaan dan
Meruntuhkan Rezin Orde Lama (1945-1966)
Pada masa setelah kemerdekaan, mulai
bermunculan secara bersamaan organisasi - organisasi mahasiswa di berbagai
kampus. Berawal dari munculnya organisasi mahasiswa yang dibentuk oleh beberapa
mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta, yang dimotori oleh
Lafran Pane dengan mendirikan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada
tanggal 14 rabiul awal 1366 H yang nertepatan pada 05 Februari 1947.
Organisasi ini dibentuk sebagai wadah
pergerakan mahasiswa yang dilatarbelakangi oleh 4 faktor utama yang meliputi
Situasi Dunia Internasional, Situasi NKRI, Kondisi Mikrobiologis Ummat Islam di
Indonesia, Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan. Selain itu pada
tahun yang sama, dibentuk pulalah Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia
(PPMI) yang didirikan melalui kongres mahasiswa di Malang.
Lalu pada waktu yang berikutnya
didirikan juga organisasi - organisasi mahasiswa yang lain seperti Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berhaluan pada ideologi Marhaenisme
Soekarno, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GAMSOS) yang lebih cenderung ke
ideologi Sosialisme Marxist, dan Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI)
yang lebih berpandangan komunisme sehingga cenderung lebih dekat dengan PKI
(Partai Komunis Indonesia).
Sebagai imbas daripada kemenangan PKI
pada pemilu tahun 1955, organisasi CGMI cenderung lebih menonjol dibandingkan
dengan organisasi - organisasi mahasiswa lainnya. Namun justru hal inilah yang
menjadi cikal bakal perpecahan pergerakan mahasiswa pada saat itu yang
disebabkan karena adanya kecenderungan CGMI terhadap PKI yang tentu saja
dipenuhi oleh kepentingan - kepentingan politik PKI. Secara frontal CGMI
menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi - organisasi mahasiswa
lainnya terutama dengan organisasi HMI yang lebih berazazkan Islam.
Berbagai bentuk propaganda politik
pencitraan negatif terus dibombardir oleh CGMI dan PKI kepada HMI, beberapa
bentuk propaganda yang mereka wujudkan yaitu salah satunya melalui artikel
surat kabar yang berjudul Quo Vadis HMI. Perseturuan antara CGMI dan HMI
semakin memanas ketika CGMI berhasil merebut beberapa jabatan di organisasi
PPMI dan juga GMNI, terlebih setelah diadakannya kongres mahasiswa V tahun
1961.
Atas beberapa serangan yang terus
menerus dilakukan oleh pihak PKI dan CGMI terhadap beberapa organisasi
mahasiswa yang secara ideologi bertentangan dengan mereka, akhirnya beberapa
organisasi mahasiswa yang terdiri dari HMI, GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia), PMKRI, PMII, Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal
(SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI),
mereka sepakat untuk membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Dimana
tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan
perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI yang dimotori oleh wakil
PB HMI Ma’arie Moehammad dan diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan
Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI),
Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Berawal dari
semangat kolektifitas mahasiswa secara nasional inilah perjuangan mahasiswa
yang dikenal sebagai gerakan angkatan '66 inilah yang kemudian mulai melakukan
penentangan terhadap PKI dan ideologi komunisnya yang mereka anggap sebagai
bahaya laten negara dan harus segera dibasmi dari bumi nusantara.
Namun sayangnya, di tengah semangat
idealisme mahasiswa pada saat itu ada saja godaan datang kepada mereka yang
pada akhirnya melunturkan idealisme perjuangan mereka, dimana setelah masa orde
lama berakhir, mereka yang dulunya berjuang untuk menruntuhkan PKI mendapatkan
hadiah oleh pemerintah yang sedang berkuasa dengan disediakan kursi MPR dan DPR
serta diangkat menjadi pejabat pemerintahan oleh penguasa orde
baru. Namun di tengah gelombang peruntuhan idealime mahasiswa
tersebut, ternyata ada sesosok mahasiswa yang sangat dikenal idealimenya hingga
saat ini dan sampai sekarang tetap menjadi panutan para aktivis - aktivis
mahasiswa di Indonesia, yaitu Soe Hok Gie. Ada seuntai kalimat
inspiratif yang dituturkan oleh Soe Hok Gie yang sampai sekarang menjadi
inspirasi perjuangan mahasiswa di Indonesia, secara lantang ia mengatakan
kepada kawan - kawan seperjuangannya yang telah berbelok idealimenya dengan
kalimat "lebih baik terasingkan daripada hidup dalam kemunafikan".
Gerakan Mahasiswa Di Rezim Orde Baru
(1966-1988)
Kritik Terhadap Kinerja Pemerintah Rezim Orde Baru
Realitas berbeda yang dihadapi antara
gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki
hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami
adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak,
bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah
melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde
Baru, seperti:
- Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama pada masa Orde
Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
- Gerakan menentang
pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang
tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka
disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah,
selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang
dimotori Arif
Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM,
dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang
lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan
membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini
dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus
yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task
Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan
demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu
1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa
politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi
kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk
perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang
pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap
ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan
partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai
bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan
Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori
oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution,Asmara Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah
melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan
untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam
pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974
Gerakan Mahasiswa Penolakan NKK/BKK
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun
1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa
disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan
rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies
Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun
disana-sini aksi protes kecil tetap ada. Menjelang dan terutama saat-saat
antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan
mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat
sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai
penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur
dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan
tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik
strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk
melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977
dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan
tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini
terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap
telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan
mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah
kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk
menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan
cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa
dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh
Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya
dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan
gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya
keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan
menolak kepemimpinan nasional.
Gerakan mahasiswa tahun
1977/1978 ini tidak hanya berporos di Jakarta dan Bandung saja namun meluas
secara nasional meliputi kampus-kampus di kota Surabaya, Medan, Bogor,
Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang. [1] 28 Oktober 1977,
delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu
suara, "Turunkan Suharto!". Besoknya, semua yang berteriak, raib
ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap
kembali tentram.
10 November 1977, di Surabaya dipenuhi
tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada Oktober
1977, giliran Kampus ITS Baliwerti
beraksi. Dengan semangat pahlawan, berbagai pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir
memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan
kaki dari Baliwerti menuju Tugu Pahlawan. Sejak
pertemuan 28 Oktober di Bandung, ITS didaulat menjadi pusat konsentrasi gerakan
di front timur. Hari pahlawan dianggap cocok membangkitkan nurani yang hilang.
Kemudian disepakati pusat pertemuan nasional pimpinan mahasiswa di Surabaya.
Sementara di kota-kota lain, peringatan
hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki lima
kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI),
membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami Mengadu". Juga dengan
pengawalan ketat tentara. Acara hari itu, berwarna sajak puisi serta hentak
orasi. Suasana haru-biru, mulai membuat gerah. Beberapa batalyon tempur sudah
ditempatkan mengitari kampus-kampus Surabaya. Sepanjang jalan ditutup,
mahasiswa tak boleh merapat pada rakyat. Aksi mereka dibungkam dengan cerdik.
Konsolidasi berlangsung terus. Tuntutan agar Soeharto turun masih menggema
jelas, menggegerkan semua pihak. Banyak korban akhirnya jatuh. Termasuk
media-media nasional yang ikut mengabarkan, dibubarkan paksa.
Pimpinan Dewan Mahasiswa (DM) ITS rutin
berkontribusi pada tiap pernyataan sikap secara nasional. Senat mahasiswa fakultas
tak henti mendorong dinamisasi ini. Mereka bergerak satu suara. Termasuk
mendukung Ikrar Mahasiswa 1977. Isinya hanya tiga poin namun berarti.
"Kembali pada Pancasila dan UUD 45, meminta pertanggungjawaban presiden,
dan bersumpah setia bersama rakyat menegakan kebenaran dan keadilan".
Peringatan 12 tahun Tritura, 10 Januari
1978, peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal sekaligus akhir. Penguasa
menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih
teror dan pengekangan.
Sejak awal 1978, 200 aktivis mahasiswa
ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat
interogasi. Banyak yang dipaksa mengaku pemberontak negara. Tentara pun tidak
sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng bersenjata.
Rumah rektornya secara misterius ditembaki orang tak dikenal.
Di UI, panser juga masuk kampus. Wajah
mereka garang, lembaga pendidikan sudah menjadi medan perang. Kemudian hari,
dua rektor kampus besar itu secara semena-mena dicopot dari jabatannya.
Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras kepala. Di ITS, delapan
fungsionaris DM masuk "daftar dicari" Detasemen Polisi Militer.
Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos mereka sudah ditunggui sekompi
tentara. Rektor ITS waktu itu, Prof Mahmud Zaki, ditekan langsung oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera membubarkan aksi dan men-drop out para
pelakunya. Sikap rektor seragam, sebisa mungkin ia melindungi anak-anaknya.
Beberapa berhasil tertangkap, sisanya bergerilya dari satu rumah ke rumah lain.
Dalam proses tersebut, mahasiswa tetap "bergerak". Selama masih ada
wajah yang aman dari daftar, mereka tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi.
Pergolakan kampus masih panas, walau Para Rektor berusaha menutupi, intelejen
masih bisa membaca jelas.
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis
tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat
diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa. Kebijakan NKK
dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed
Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba
mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan
dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi
rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini PangkopkamtibSoedomo melakukan pembekuan atas lembaga
Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian
baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan
ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di
Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui
Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan
penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif
sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya
mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa
Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang
terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan
pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai
wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga
kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan
yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan
transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU
No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak
diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah
atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang
apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana
birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul
kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan
refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser
oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa.
Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai
kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan
meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan
mahasiswa islam), PMII (Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia),PMKRI (Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok
Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain:
kasus tanah waduk Kedung
Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo,
penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
Kasus Helm “Siti Hardiyanti Rukmana” “1988”
Gerakan Mahasiswa Dalam Meruntuhkan Rezim Orde Baru (1990-1998)
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah
Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar
Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa
organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa
Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas
(SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan
dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang
menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat
menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang
menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda
untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa
dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak
timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini.
Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh
korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan
bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti
oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian
model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model
kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan
Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk
membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa
ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan
berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di
dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga
akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi.
Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke
DPR/DPRD tetap terlarang.
Peristiwa Amarah (1996)
Berawal dari kebijakan pemerintah dan
keluarnya SK MENHUB tentang kenaikan tarif angkutan umum yang
ditindak-lanjuti dengan SK walikota Makassar no: 900 tahun 1996 tentang
penyesuaian tarif angkutan kota di kota Makassar. Kebijakan itu sangat memberatkan
dan membuat semakin terpuruknya ekonomi masyarakat, maka dari inilah muncul
geliat-geliat mahasiswa Makassar dalam merespon kebijakan pemerintah yang
sangat tidak memihak masyarakat. Geliat-geliat ini akhirnya berakibat
digelarnya aksi demonstrasi besar-beasaran oleh mahasiswa Makassar.
Pada tahun ini makassar menangis,
pergerakan mahasiswa makassar dalam menolak kebijakan walikota makassar tentang
kenaikan tarif pete-pete (Angkutan Kota) dari Rp. 300,- menjadi Rp. 500,- yang
diakibatkan naiknya BBM, semua mahasiswa makassar melakukan aksi menolak
sehingga menyebabkan 3 mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Menjadi korban
(Saiful Biya, Tasrif, Andi Sultan Iskandar) karena kampus II UMI dimasuki
Tentara yang mengendarai Panser (Reformasi Berawali Dari Tanah Makassar).
Runtuhnya Rezim Orde Baru Menuju Era
Reformasi (21 Mei 1998)
Pada akhirnya ditahun
1997-1998 didorong oleh keadaan politik serta krisis ekonomi yang sedang
mengalami keterpurukan akibat krisis moneter yang dialami Indonesia membuat
perekonomian terguncang hebat. Hal ini tentu saja sangat mengejutkan
masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa yang akhirnya animo pergerakannya
mulai bangkit setelah sebelumnya mengalami mati suri yang cukup panjang.
Sehingga pada akhirnya timbullah berbagai aksi demonstrasi besar-besaran.
Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa pun akhirnya semakin
merebak dan meluas. Di Jakarta sendiri, ribuan mahasiswa telah berhasil
menduduki gedung MPR/DPR RI pada tanggal 19 Mei 1998. Atas berbagai tekanan
yang terjadi itulah akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00, presiden RI
pada saat itu, yaitu Soeharto resmi mengundurkan diri dan era Reformasi pun
dimulai dengan diawali oleh runtuhnya rezim Orde Baru.
Referensi :
http://kalajingga.wordpress.com/2011/04/20/kronologis-april-makassar-berdarah-1996-amarah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar