Jumat, 07 Agustus 2015

" LIBERALISASI POLITIK " Oleh: Dr. Adian Husaini (Peneliti INSISTS)

   Politik adalah sekedar seni meraih dan mempertahankan kekuasaan, dengan segala cara. Politik harus dibebaskan dari moralitas. Yang penting kekuasaan. Demi meraih kekuasaan, tipu sana tipu sini, bukan soal lagi. Bahkan, jika perlu, teror pun digunakan, demi kekuasaan. Pertahankan dan rebut kekuasaan, dengan cara apa pun!
Itulah politik bebas nilai. Sebuah bentuk politik yang secara sistematis diteorikan oleh Niccolo Machiavelli. Politik dibebaskan dari nilai-nilai moral dan agama. Dalam sejarah pemikiran politik, nama Machiavelli memang monumental. Oleh para pemikir di Barat kemudian, karya Machiaveli, The Prince, dianggap memiliki nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam social politik umat manusia. Sebuah buku berjudul World Masterpieces yang diterbitkan oleh WW Norton & Company, New York, tahun 1974 (cetakan kelima) menempatkan karya Machiaveli ini sebagai salah satu karya besar dalam sejarah umat manusia yang muncul di zaman renaissance.

   Perjalanan hidup Machiavelli sendiri cukup menyedihkan. Ia pernah ditahan dan disiksa. Ia dituduh melawan pemerintah Italia sekitar tahun 1495. Ia menulis The Prince pada usia 44 tahun, dan baru dipublikasikan tahun 1532, lima tahun setelah kematiannya. Machiavelli dianggap sebagai salah satu pemikir yang mengajak penguasa untuk berpikir praktis demi mempertahankan kekuasaannya, dan melepaskan nilai-nilai moral yang justru dapat menjatuhkan kekuasannya. Karena itu, banyak yang memberikan predikat sebagai amoral. Tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah survival (mempertahankan kekuasaan).
Politik semacam itu melampaui nilai-nilai moral keagamaan. Dengan membuang faktor baik dan buruk dalam kancah politik, Machiavelli membuat saran, bahwa seorang penguasa bisa menggunakan cara apa saja untuk menyelamatkan negara. Penguasa-penguasa yang sukses, kata dia, selalu bertentangan dengan pertimbangan moral dan keagamaan. Maka, kata Machiavelli lagi, Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan terror. Ditulis dalam The Prince: It is necessary for a prince, who wishes to maintain himself, to learn how not to be good, and to use this knowledge or not use it, according to the necessity of the case. Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli, adalah ia telah mengangkat persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan.

   Sejarawan Marvin Perry, mencatat dalam bukunya, Western Civilization: A Brief History, (New York: Houghton Mifflin Company, 1997), bahwa nilai penting dari pemikiran Machiaveli adalah usahanya melepaskan pemikiran politik dari kerangka agama dan menempatkan politik semata-mata urusan ilmuwan politik. In secularizing and rationalizing political philosophy, he initiated a trend of thought that we recognized as distinctly modern, tulis Perry. Jadi, kontribusi terbesar Machiavelli adalah menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah politik dan negara, semata-mata sebagai faktor ilmiah yang rasional. Inilah yang dipandang sebagai politik modern.

Trauma sejarah

    Apa yang dilakukan Machiaveli yang kemudian disebut sebagai politik modern tentu saja tak lepas dari arus besar renaissance (kelahiran kembali) masyarakat Eropa, yang selama hamper 1.000 tahun hidup di bawah sstem politik teokrasi (kekuasaan Tuhan). Tuhan melalui wakilnya di bumi mendominasi segala aspek kehidupan, termasuk politik. Pemerintahan dianggap tidak sah, jika tidak dikonfirmasi oleh wakil Tuhan.

Contoh yang menarik terjadi pada konflik antara Paus Gregorius VII dan Raja Henry IV pada paruh abad ke-11. Konflik dimulai ketika Gregory melarang keterlibatan Raja dalam pengangkatan pejabat gereja. Paus berargumen, bahwa konsep Gereja sebagai monarkhi berasal dari tradisi Imperium Romawi. Paus sendiri yang berhak mengangkat dan memberhentikan para uskup, mengadakan Sidang Umum dan mengeluarkan aturan moral dan keagamaan. Jika Paus mengucilkan seorang penguasa, maka penguasa itu berarti telah berdiri di luar tubuh Kekristenan, dan karena itu ia tidak dapat menjadi penguasa di wilayah Kristen (Christendom). Raja Henry IV menolak klaim Paus tersebut, dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga datang langsung dari Tuhan. Menghadapi tantangan itu, Paus menyerukan kepatuhan pasif terhadap Henry IV. Pada akhir pertarungan, Henry IV takluk dan dipaksa menemui Gregory di Canossa pada 1077. Paus kemudian meringankan hukuman atas Henry tetapi tidak mengembalikan kekuasaannya. Kasus ini menunjukkan keefektivan kekuasaan Paus atas pemerintah. Lembaga kepausan, meskipun tanpa tentara, mampu melakukan pengucilan terhadap Raja yang sangat besar kekuasaannya di Eropa.
Dominasi kekuasaan kaum agamawan dalam politik kemudian menyulut berbagai protes. Tahun 1887, Lord Acton seperti menyindir hegemoni kekuasaan agama dan menulis surat kepada Bishop Mandell Creighton. Isinya antara lain: All power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely. (Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991)).

   Berbagai penyimpangan system teokrasi kemudian melahirkan semangat pemberontakan terhadap agama. Revolusi Perancis (1789) yang mengusung jargon Liberty, Egality, Fraternity, secara terbuka menyingkirkan bukan hanya system monarkhi tetapi juga dominasi kaum agamawan dalam politik. Sebelumnya, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas khusus bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Prancis.
   Kekeliruan sebagian tokoh agama dalam politik yang menindas rakyat akhirnya memunculkan trauma masyarakat Barat terhadap peran agama dalam politik. Bahkan, kemudian muncul fenomena anti-clericalism di Eropa pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu: Berhati-hatilah, jika Anda berada didepan wanita, hatilah-hatilah Anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta. (Beware of a women if you are in front of her, a mule if you are behind it, and a priest wether you are in front or behind). (Owen Chadwick, The secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975)).

   Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama itulah yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi politisasi agama; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.

Tradisi Islam

   Di Eropa, trauma sistem teokrasi kemudian memunculkan tradisi politik sekuler-liberal. Fenomena ini sebenarnya tidak terjadi dalam dunia Islam. Kaum Muslim selalu melihat politik sebagai bagian dari agama. Politik adalah ibadah. Tujuan utama politik adalah untuk menyebarkan kebenaran, dan menjaga agama melalui kekuasaan. Karena tujuannya mulia, maka cara yang digunakan pun harus mulia pula. Tujuan tidak menghalalkan segala cara.

Pengalaman sejarah dan trauma Barat terhadap hegemoni sistem teokrasi mengharuskan dilakukannya sekularisasi di Barat. Tapi, Islam tidak mengalami hal semacam itu. Islam tidak mengenal sistem teokrasi dan tradisi Inquisisi. Bernard Lewis, profesor di Princeton University mengakui, bahwa kaum Muslim memang tidak mengembangkan tradisi sekuler dalam sejarah mereka. Bahkan, kaum Muslim akan selalu menentang keras tradisi sekuler tersebut. Ini berbeda dengan tradisi Kristen di Barat. From the beginning, Christians were taught both by precept and practice to distinguish between God and Caesar and between the different duties owed to each of the two. Muslims received no such instruction, "tulis Lewis dalam bukunya, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix, 2002).

   Karena itu, memang, sejatinya, politik sekuler dan liberal, apalagi politik machiavellis harusnya tidak dikenal dalam tradisi Islam. Namun, pada akhirnya, para politisi Muslim sendiri yang harus membuktikan, bahwa politik mereka memang bertujuan untuk ibadah dan bukan refleksi dari syahwat mencintai dunia (hubbud-dunya). Jika mereka gagal membuktikan politik Islam sebagai rahmat bagi masyarakat, maka bukan mustahil akan muncul gerakan anti-ulama dan anti-agama ', sebagaimana munculnya gerakan anti-crericalism di Eropa. Masyarakat bukan hanya muak pada politisi Muslim dan partai yang mengusung nama Islam, tetapi juga makin jauh dari agama. Mudah-mudahan ini tidak terjadi! (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar