Sabtu, 15 Agustus 2015

" KEBEBASAN: MUSLIM ATAU LIBERAL? " Oleh: Dr. Adian Husaini (Peneliti INSISTS)

“Amerika Serikat adalah contoh negara sekular yang baik dan mempunyai kedudukan yang khusus di dunia dengan menawarkan kesempatan dan harapan bagi umat manusia untuk mengembangkan agama-agama,”
Begitulah pernyataan seorang pegiat paham Kebebasan Beragama di Indonesia dalam pengantar buku berjudul Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, (Jakarta: LSAF dan Paramadina, 2010). Lebih jauh, aktivis yang juga pendiri Nurcholish Madjid Society ini, menyebutkan: ”Jadi, contoh di Amerika Serikat sekularisme menghasilkan suatu perkembangan agama yang pesat sekali.”
Buku yang mempromosikan kebebasan beragama di Indonesia ini merekam pembicaraan puluhan tokoh tentang paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Beberapa diantara mereka – seperti Abdurrahma Wahid, M. Dawam Rahardjo, Musdah Mulia – tercatat sebagai penggugat UU No. 1/PNPS/1965 ke Mahkamah Konstitusi. Sejumlah pemikir di sini juga secara terbuka mendukung paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme untuk dikembangkan di Indonesia.
Bagi mereka, ketiga paham itu wajib dikembangkan di Indonesia dan menjadi prasyarat mutlak tegaknya demokrasi di Indonesia. “Demokrasi tidak akan mampu berdiri tegak tanpa disangga dengan sekularisme, termasuk pluralisme dan liberalisme. Bahkan khusus sekularisme – yaitu pemisahan secara relatif agama dan negara – adalah salah satu faktor terpenting dalam membangun demokrasi dan civil society yang kuat,” tulis si aktivis liberal tersebut. Katanya lagi, “Liberalismelah yang dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan dan keseimbangan agama, karena berpikir liberal, rasional dan kritis merupakan sesuatu yang tidak dapat dinafikan bagi cita-cita dan kemajuan.”
Menurut dia, kebebasan beragama itu hanya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik jika ide sekularisme, liberalisme, dan pluralisme itu berkembang dengan baik juga di Indonesia. Kalau sekularismenya itu berjalan dengan buruk, misalnya negara terlalu ikut campur dalam urusan agama dan ikut terlibat dalam menilai suatu agama itu sesat atau menyimpang, dan atau melakukan suatu kasus diskriminasi agama, pada saat itulah sebenarnya negara tidak melindungi kebebasan beragama warga negaranya. “Karena itu negara harusnya netral agama,” seru aktivis liberal, penulis Ensiklopedi Nurcholish Madjid ini.
Dalam pandangan kaum penganut “sipilis”, negara netral agama adalah negara yang tidak memihak atau melebihkan satu agama atas agama lain. Negara juga tidak boleh memihak satu aliran agama tertentu. Dalam kamus negara sekular, tidak dikenal istilah mukmin, kafir, sesat, halal atau haram, mayoritas atau minoritas. Semua warga negara dipandang sama, apapun paham dan aliran agamanya.
Karena ketakjuban dan keimanan yang sangat kuat terhadap trilogi sekularisme, pluralisme, liberalisme – yang kini populer di kalangan kaum Muslim dengan istilah “sipilis” -- maka sang aktivis liberal ini lalu menyuarakan kebenciannya terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada 2005 menfatwakan paham “sipilis” sebagai “barang haram”. Kata sang aktivis liberal: “Fatwa MUI ini tampak eksklusif, tidak pluralis, bahkan cenderung diskriminatif.”
Menurutnya, salah satu yang memicu masalah kebebasan beragama di Indonesia yang kuat belakangan ini adalah adanya fatwa MUI tentang pengharaman sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. “Sampai hari ini ide sekularisme, liberalisme dan pluralisme telah menjadi suatu ide yang “menakutkan” bagi sebagian kalangan masyarakat Indonesia – terutama pasca keluarnya fatwa MUI,” kata pegiat paham “sipilis” ini.
*****

Alkisah, pada 25 November 2007, Lia Eden, pendiri agama Salamullah, mengirimkan surat kepada Ketua Mahkamah Agung Prof. Bagir Manan. Surat itu berkop: ”GOD’S KINGDOM: TAHTA SUCI KERAJAAN TUHAN, EDEN”. Lia murka kepada Mahkamah Agung RI yang menetapkan pengukuhan penahanan terhadap Muhammad Abdul Rahman. Dengan menggunakan nama “Jibril Ruhul Kudus” Lia membubuhkan tanda tangannya: “LE2”. Ia menulis dalam surat yang juga ditembuskan ke sejumlah Ormas Islam: “Atas nama Tuhan Yang Maha Kuat. Aku Malaikat Jibril adalah hakim Allah di Mahkamah Agungnya... Akulah Malaikat Jibril sendiri yang akan mencabut nyawamu. Atas Penunjukan Tuhan, kekuatan Kerajaan Tuhan dan kewenangan Mahkamah Agung Tuhan berada di tanganku.”
Mungkin, hanya di Indonesia saja “Malaikat Jibril” punya tanda tangan dan berprofesi mencabut nyawa manusia. Dalam suratnya tahun 2007 tersebut, Lia sudah secara tegas menyatakan sebagai “Malaikat Jibril”. Tahun 2003, ia masih mengaku ”berkasih-kasihan dengan Melaikat Jibril”. Dalam bukunya, Ruhul Kudus (2003), sub judul ‘’Seks di sorga’’, diceritakan kisah pacaran dan perkawinan antara Jibril dengan Lia Eden: ‘’Lia kini telah mengubah namanya atas seizin Tuhannya, yaitu Lia Eden. Berkah atas namanya yang baru itu. Karena dialah simbol kebahagiaan surga Eden. Berkasih-kasihan dengan Malaikat Jibril secara nyata di hadapan semua orang. Semua orang akan melihat wajahnya yang merona karena rayuanku padanya. Aku membuatkannya lagu cinta dan puisi yang menawan. Surga suami istri pun dinikmatinya.’’
Orang Muslim yang masih normal – tidak mengidap paham ”sipilis” -- tentu akan menyatakan bahwa paham seperti itu sesat dan tidak baik untuk dikembangkan di tengah masyarakat. Paham ini adalah satu bentuk kemunkaran. Kata Nabi Muhammad saw: ”Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisan. Jika tidak mampu, dengan hati. Dan itulah selemah-lemah iman.”
Dalam pandangan Islam, kesesatan yang disebarluaskan adalah satu bentuk kemunkaran. Maka, ulama wajib bertindak tegas. Ketika MUI ditanya, apakah aliran seperti Lia Eden ini sesat, maka MUI dengan tegas menyatakan, bahwa ajaran Salamullah yang dibikin Lia Eden adalah ajaran sesat. Tapi, gara-gara menjalankan tugas kenabian, mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok Lia Eden, Ahmadiyah, dan sejenisnya, MUI dihujani cacian. Ada yang bilang, MUI tolol. Sebuah jurnal keagamaan yang terbit di Semarang menurunkan laporan utama: ”Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan.” Ada praktisi hukum angkat bicara di sini, ”MUI bisa dijerat KUHP Provokator.” Sejumlah kelompok juga datang ke Komnas HAM menuntut pembubaran MUI.
Bagi kaum liberal, tidak ada kamus “sesat” atau “benar”. Yang penting kebebasan! Padahal, setiap hari seorang Muslim diwajibkan berdoa agar ditunjukkan jalan yang lurus dan dijauhkan dari jalan orang yang sesat dan dimurkai Allah. Jadi, memang ada jalan yang benar dan ada jalan yang sesat. Tidak mungkin semuanya benar atau semuanya sesat. Juga, tidak mungkin, semuanya pemikiran dan tindakan dibolehkan.
Tahun 2007, seorang tokoh Ahmadiyah di Indonesia menerbitkan buku dengan judul ”Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa” (2007). Dijelaskannya kepercayaan kaum Ahmadi, yaitu: ”Imam Mahdi dan Isa yang Dijanjikan adalah seorang nabi yang merupakan seorang nabi pengikut atau nabi ikutan dengan ketaatannya kepada YM. Rasulullah Saw. yang akan datang dan akan merubah masa kegelapan ini menjadi masa yang terang benderang.” Dan apabila Imam Mahdi itu sudah datang, maka diperintahkanlah umat Islam untuk menjumpainya, walaupun harus merangkak di atas gunung salju.” (hal. 69).
Pada tahun 1989, Yayasan Wisma Damai – sebuah penerbit buku Ahmadiyah – menerjemahkan buku berjudul Da’watul Amir: Surat Kepada Kebenaran, karya Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, khalifah Khalifah Masih II/Imam Jemaat Ahmadiyah (1914-1965). Buku ini aslinya dalam bahasa Urdu. Tahun 1961, terbit edisi Inggrisnya dengan judul ”Invitation to Ahmadiyyat”.
Buku ini menegaskan: ”Kami dengan bersungguh-sungguh mengatakan bahwa orang tidak dapat menjumpai Allah Ta’ala di luar Ahmadiyah.” (hal. 377). Umat Islam dipaksa untuk beriman bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan Masih al-Mau’ud. Lalu, umat Islam diberi ultimatum: ”Jadi, sesudah Masih Mau’ud turun, orang yang tidak beriman kepada beliau akan berada di luar pengayoman Allah Taala. Barangsiapa yang menjadi penghalang di jalan Masih Mau’ud a.s, ia sebenarnya musuh Islam dan ia tidak menginginkan adanya Islam.” (hal. 374).
Sementara itu, bagi umat Islam, posisi kenabian Muhammad saw sebagai Nabi terakhir adalah ajaran final. Sepeninggal beliau saw, sudah tidak ada lagi Nabi, meskipun banyak sekali yang mengaku sebagai nabi. Dalam kaputusan tahun 1937, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengutip hadits Rasulullah saw, “Di antara umatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian nabi.” (HR Ibn Mardawaihi, dari Tsauban).
Tentu, bagi penganut paham “sipilis” tidak ada bedanya antara mukmin dan kafir. Tidak ada beda antara tauhid dan syirik. Bagi mereka, agama bukan hal penting. Yang penting adalah kebebasan! Negara diminta bersikap netral, tidak memihak antara iman dan kufur. Umat Islam juga diminta menghormati paham-paham yang menyimpang dari ajaran Islam. Semua dianggap sama, sederajat. Yang penting tidak mengganggu orang lain secara fisik. Bagi mereka, iman tidak penting, sebab agama apa pun dianggap sama saja; sebagai jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan – siapa pun dan apa pun Tuhannya.
*****
“The idea of God negates our freedom,” pekik seorang filosof terkenal Jean Paul Sartre. Dengan pengalaman sejarahnya yang kelam saat berinteraksi dengan agama (Kristen), peradaban Barat kemudian memutuskan untuk menolak campur tangan agama dalam kehidupan. Agama diletakkan sebagai soal privat semata. Meskipun, sebenarnya, prinsip ini pun juga tidak mutlak. Di Inggris, Raja Inggris tetap menjabat sebagai Kepala Gereja Anglikan. Di Swiss, umat Islam ditolak untuk membangun menara masjid. Wacana pelarangan cadar di sejumlah negara Eropa juga mencuat. Padahal, kata mereka, ini urusan privat, dan tidak boleh dicampuri negara.
Paham “Kebebasan” (liberty/freedom) secara resmi digulirkan oleh kelompok Free Mason yang mulai berdiri di Inggris tahun 1717. Kelompok ini kemudian berkembang pesat di AS mulai tahun 1733 dan berhasil menggulirkan revolusi tahun 1776. Patung liberty menjadi simbol kebebasan. Prinsip freedom dijunjung tinggi. Tahun 1789, gerakan kebebasan berhasil menggerakkan Revolusi Perancis juga dengan mengusung jargon “liberty, egality, fraternity”. Pada awal abad ke-20, gerakan kebebasan ini menyerbu Turki Utsmani.
Karena trauma terhadap dominasi agama dalam kehidupan, orang-orang Barat, meskipun beragama Kristen, enggan menjadikan hukum-hukum agama sebagai pedoman hidup mereka. Para pengagum dan penjiplak konsep kebebasan ala Barat ini, kemudian ingin menerapkan begitu saja konsep itu ke dalam kehidupan kaum Muslim. Padahal, konsep kebebasan antara Barat dan Islam sangatlah berbeda. Islam memiliki konsep ”ikhtiyar” yakni, memilih yang baik. Umat Islam tidak bebas memilih yang jahat. Sebab, tujuan hidup seorang Muslim adalah menjadi orang yang taqwa kepada Allah. (lihat wawancara dengan Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud).
Sedangkan Barat tidak punya batasan yang pasti untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Semua diserahkan kepada spekulasi akal dan dinamika sosial. Perbedaan yang mendasar ini akan terus menyebabkan terjadinya ”clash of worldview” (benturan pandangan alam) dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dua konsep “kebebasan” yang kontradiktif ini tidak bisa dipertemukan. Sebab, tempat berpijaknya sudah berbeda. Maka seorang harus menentukan, ia memilih konsep yang mana. Ia memilih Islam atau liberal.
Kaum Muslim yang masih memegang teguh aqidahnya, pasti akan marah membaca novel The Stanic Verses-nya Salman Rushdie. Novel ini sungguh biadab; menggambarkan sebuah komplek pelacuran di zaman jahiliyah yang dihuni para pelacur yang diberi nama istri-istri Nabi Muhammad saw. Bagi Islam, ini penghinaan. Bagi kaum liberal, itu kebebasan berekspresi. Bagi Islam, pemretelan ayat-ayat al-Quran dalam Tadzkirah-nya kaum Ahmadiyah, adalah penghinaan, tapi bagi kaum liberal, itu kebebasan beragama. Berbagai ucapan Mirza Ghulam Ahmad juga bisa dikategorikan sebagai penghinaan dan penodaan terhadap Islam. Sebaliknya, bagi kaum liberal, Ahmadiyah adalah bagian dari ”kebebasan beragama dan berkeyakinan.” Bagi Islam, beraksi porno dalam dunia seni adalah tercela dan dosa. Bagi kaum liberal, itu bagian dari seni dan kebebasan berekspresi, yang harus bebas dari campur tangan agama.

Jadi, pilihlah: menjadi Muslim atau Liberal! (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar