Rabu, 05 Agustus 2015

"Ketika LDK Makin Terasa Eksklusif" oleh : Dakwatuna

     
   
  Cobalah tanya secara acak kepada mahasiswa muslim di kampus anda. Tak peduli dia kuliah di tahun pertama atau tahun yang kesekian di kampus tersebut. Tahukah dia siapa yang memegang amanah sebagai ketua lembaga dakwah kampusnya? Atau tanyakan apa saja departemen atau program kerja lembaga dakwah tersebut. Atau coba saja tanyakan kepanjangan dari nama lembaga dakwah di kampus tersebut (jika memang memakai singkatan). Penulis berani menjamin sebagian besar dari mereka tidak tahu, atau hanya tahu sedikit tentang lembaga dakwah tersebut. Hal itu seharusnya menjadi cambukan keras bagi para aktivis dakwah. Apakah itu salah mereka yang tak mau mengenal, ataukah kesalahan para aktivis dakwah yang tak mau membranding dirinya?
     Ketika dikembalikan pada konsepsi Islam yang rahmatan lil ‘alamin maka Islam adalah agama yang menaungi seluruh semesta alam. Bukan hanya rahmatan lil muslmin, namun juga rahmatan lil nasrani, lil yahudi, dan agama lainnnya. Bukan hanya rahmatan linnas tapi juga rahmatan lil jamal, lil asad, lil baqoroh, lizzahro, lissyajaroh, dan makhluk hidup lainnya. Dari konsepsi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang menjadi tempat bernaung seluruh makhluk. Siapapun seharusnya merasa aman dan nyaman ketika ia berada di sekitar orang Islam, tidak merasa terasing sebab Islam telah menaungi mereka, tanpa memaksa mereka untuk mengikuti keyakinan sebagai pemeluk Islam.
       Demikian pula dalam konsepsi dakwah kampus. Dalam hal ini lembaga dakwah kampus seharusnya menjadi corong pergerakan mahasiswa muslim. Ia bukan saja menjadi corong, namun sudah seharusnya ia mampu menaungi seluruh mahasiswa di kampus tersebut. Iya ! benar, sekali lagi seluruh mahasiswa. Bukan hanya mahasiswa muslim saja, namun termasuk mahasiswa yang berkeyakinan lain. Namun, melihat realita saat ini, akankah konsepsi tersebut terwujud?
Mari kembali kepada studi kasus di atas. Jangankan mahasiswa yang beragama lain. Mahasiswa muslim sendiri saja tidak tahu siapa yang menjadi ketua lembaga dakwah tersebut, apa saja program kerjanya, terdapat departemen apa, dan lain sebagainya. Padahal seorang ketua lembaga dakwah, berarti ia dapat dianggap representasi mahasiswa muslim di kampus tersebut. Mahasiswa di kampus tersebut adalah objek dakwah yang empuk yang harus dinaungi dan diayomi. Sehingga lembaga dakwah bukan hanya milik orang-orang yang rajin ke masjid saja, bukan hanya milik orang-orang yang tertarik kepada keislaman saja. Namun milik semua orang yang memiliki identitas Islam, dan kebermanfaatannya mampu dirasakan oleh semua elemen kampus. Begitulah konsep ideal dari sebuah lembaga dakwah manakala ia inklusif, bukan eksklusif.
Lalu sekarang di manakah letak kesalahannya? Barangkali dalam setiap langkah dakwah seorang aktivis ia harus berkaca terlebih dahulu sebelum melihat sisi luar dari dirinya. Sudahkah ia mampu menjadi aktivis dakwah yang tak eksklusif? Masihkah dia sungkan untuk bergaul dengan saudaranya sendiri, sesama muslim yang hidupnya barangkali dihabiskan untuk bermaksiat, minum-minuman keras, berzina, dan lain sebagainya? Masihkah ia terkungkung di masjid saja, padahal di sekitarnya banyak objek dakwah yang menanti untuk didakwahi? Mari kita merefleksi diri.
Teruntuk para akhwat, cobalah bertanya pada teman-temanmu yang masih berpakaian jauh dari kata menutup aurat sedangkan ia seorang muslim.         Bahkan saya pernah mendengar langsung bahwa kebanyakan dari mereka takut. Takut ketika akan mendekati para aktivis lembaga dakwah yang berkerudung besar. Mereka bahkan ada yang menganggap jangan-jangan itu Islam garis keras, atau terlalu eksklusif. Lalu jika melihat banyaknya fenomena seperti itu, sudahkah anti sekalian mendekati mereka? Atau jangan-jangan anti terlalu sibuk dengan urusan dakwah yang mengesampingkan objek dakwah itu sendiri?
       Maka semoga ini bisa menjadi refleksi bagi dakwah kita. Dakwah dengan media lembaga dakwah kampus. Jangan sampai Islam yang inklusif justru menjadi eksklusif oleh lembaga dakwah kampus itu sendiri. Jangan sampai Islam yang universal dan kontekstual menjadi kaku dan seolah menyulitkan karena terlalu strictnya model dakwah oleh para aktivis LDK itu sendiri. Karena Islam sesungguhnya rahmatan lil alamin, maka begitulah seharusnya Lembaga Dakwah Kampus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar