Audio Player
“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba- hamba-Nya yang mencintai-Nya (beriman) dan mengerjakan amal yang shaleh. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruan cinta-Ku, kecuali cinta dalam kemesraan (kekeluargaan). Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Aku tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Q.S. Asy-Syura: 23)
Cinta kepada Allah Swt adalah mengutamakan Allah di atas siapapun dan apapun juga. Cinta kepada Allah adalah sikap tunduk, patuh dan berbuat sedaya upaya dengan maksud hanya mengharapkan keridhaan-Nya.
Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa cinta kepada Allah Swt adalah tujuan utama dan tertinggi dari seluruh derajat/level spiritual. Setelah derajat kecintaan ini, tidak ada lagi derajat yang lain kecuali buah dari kecintaan itu sendiri. Aktifitas-aktifitas spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain sebagainya itu akan bermuara pada mahabatullah (cinta kepada Allah Swt).
Kita tentu sudah tak asing lagi dengan nama Rabi’ah Al ‘Adawiyah, atau minimalnya kita pernah mendengar namanya. Ia adalah seorang sufi wanita terkenal dari Bahsrah. Suatu ketika, Rabi’ah Al ‘Adawiyah berziarah ke makam Rasulullah Saw. dan berucap, “Maafkan aku ya Rasulullah, bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk cinta kepada yang lain, karena telah penuh cintaku pada Allah Swt”.
Ucapan Rabi’ah Al ‘Adawiyah di atas mengajarkan bahwa cinta kepada Allah Swt itu harus mendominasi hati sehingga tidak hadir sesuatu yang lain yang menjadi pesaing bagi-Nya di dalam hati untuk dicintai. Bukan berarti Rabi’ah Al ‘Adawiyah tidak mencintai Rasullah Saw. Ucapan Rabi’ah Al ‘Adawiyah tersebut mengandung arti bahwa cinta kepada Allah Swt adalah cinta yang utama yang menjadi latarbelakang cinta yang lain termasuk cinta kepada Rasul. Jadi seorang mu’min yang mencintai Allah dengan sungguh-sungguh pastilah mencintai apa yang di cintai-Nya pula. Rasulullah Saw pernah berdoa, “Ya Allah karuniakan kepadaku kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-Mu. Jadikanlah Dzat-Mu lebih aku cintai daripada air yang dingin bagi orang yang dahaga.”(HR. Abu Nu’aim).
Imam Ghazali juga menerangkan bahwa kata“mahabbah” (kecintaan) berasal dari kata “hubb”yang mempunyai asal kata “habb” dan berarti biji atau inti. Sebagian ahli tasawuf menjelaskan bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir dari perjalanan keberagamaan. Mungkin kita banyak mengalami perbedaan dalam menjalankan syariat disebabkan perbedaan mazhab atau karena perbedaan ijtihad. Namun, rasa cinta kepada Allah Swt adalah kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut.
Kecintaan kepada Allah Swt tidak hanya kita wujudkan dalam ibadah-ibadah mahdah(hablumminallah) semata, melainkan juga mencakup ibadah-ibadah yang bentuknya interaksi dengan sesama manusia dan alam lingkungan.
Ada satu kisah, sewaktu masih kecil, Husain (cucu Rasulullah Saw) pernah bertanya kepada ayahnya, yaitu Ali bin Abi Thalib, “Apakah engkau mencintai Allah?” Ali RA menjawab, “Ya”. Lalu Husain bertanya lagi, “Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?” Ali RA menjawab, “Ya”. Husain bertanya lagi, “Apakah engkau mencintai Ibuku?” Ali RA pun menjawab, “Ya”. Husain kecil kembali bertanya, “Apakah engkau mencintaiku?”Ali RA menjawab, “Ya”.
Husain kecil yang masih polos itu mengajukan pertanyaan terakhir, “Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?”Kemudian Ali RA menjelaskan, “Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kekek dari ibumu (Rasulullah Saw), ibumu (Fatimah RA) dan cintaku kepada engkau adalah karena cintaku kepada Allah Swt”. Karena sesungguhnya semua cinta itu merupakan cabang-cabang dari cinta yang utama yaitu cinta kepada Allah Swt. Setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu Husain jadi tersenyum mengerti.
Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar